Selasa, 05 Februari 2013

IMPLENTASI AJARAN TRI HITA KARANA DALAM KEHIDUPAN



DHARMA WACANA
IMPLENTASI AJARAN TRI HITA KARANA DALAM KEHIDUPAN
OLEH :
I Nyoman Juliana

Om Swastyastu,          
            Pada hari yang berbahagia ini saya ingin menyampaikan sedikit ulasan tentang” Tri Hita Karana”. Tri Hita Karana merupakan suatu konsep atau ajaran dalam agama hindu yang selalu menitikberatkan bagaimana antara sesama bisa hidup secara rukun dan damai.  Tri hita karana bisa diartikan Secara leksikal yang berarti tiga penyebab kesejahteraan. Yang mana Tri yang artinya tiga, Hita yang artinya sejahtera, dan Karana yang artinya penyebab. Adapun tiga hal tersebut adalah parhayangan, pawongan, dan palemahan. Konsep Tri Hita Karana muncul berkaitan dengan keberadaan desa adat di Bali. Hal ini disebabkan oleh terwujudnya suatu desa adat di Bali bukan saja merupkan persekutuan daerah dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam masyarakat, namun juga merupakan persekutuan bersama dalam kepercayaan memuja Tuhan. Dengan kata lain bahwa ciri khas desa adat di Bali harus mempunyai unsur wilayah, orang-orang atau masyarakat yang menempati suatu wilayah serta adanya tempat suci untuk memuja Tuhan.
Pembagian ajaran Tri Hita karana meliputi;
1.      Parhayangan
Parhyangan berasal dari kata hyang yang artinya Tuhan. Parhayangan berarti ketuhanan atau hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan dalam rangka memuja ida sang hyang widhi wasa. Dalam arti yang sempit parhyangan berarti tempat suci untuk memuja tuhan.
Menurut tinjauan Dharma susilanya, manusia menyembah dan berbhakti kepada tuhan disebabkan oleh sifat-sifat parama (mulia) yang dimilkinya. Rasa bhakti dan sujud pada tuhan timbul dalam hati manusia oleh karena sanghyang widhi maha ada, maka kuasa, maha pengasih yang melimpahkan kasih dan kebijaksanaan kepada umatnya. Kita  Sebagai umat yang beragama yang bernaung dibawah perlindungannya sangat berutang budi lahir bhatin kepada beliau. Dan utang budhi tersebut tak akan terbalas oleh apapun. Karena hal tersebut diatas, maka satu-satunya dharma/susila yang dapat kita sajikan kepada beliau hanyalah dengan jalan menghaturkan parama suksmaning idep atau rasa terima kasih kita yang setinggi-tingginya kepada beliau.
Adapun contoh implementasi rasa syukur kita kepada tuhan adalah dengan jalan :
a)      Dengan khidmat dan sujud bhakti menghaturkan yadnya dan persembahyangan kepada tuhan yang maha esa).
b)      Berziarah atau berkunjung ketempat-tempat suci atau tirta yatra untuk memohon kesucian lahir dan bhatin
c)            Mempelajari dengan sungguh-sungguh ajaran-ajaran mengenai ketuhanan, mengamalkan serta menuruti dengan teliti segala ajaran-ajaran kerohanian atau pendidikan mental spiritual. Dalam Bhagawadgita dikatakan bahwa :

Satatam kirtayatom mam
Yatantas ca drsha vrtatah
Namasyantas ca mam bhatya
Ni tyayuktah upsate”(IX.14)

Yang artinya adalah :
Berbuatlah selalu hanya untuk memuji-Ku dan lakukanlah tugas pengabdian itu dengan tiada putus-putusnya. Engkau yang memujaku dengan tiada henti-hentinya itu serta dengan kebaktian yanbg kekal adalah dekat dengan-Ku.
Disamping itu rasa bhakti kepada ida sanghyang widhi wasa itu timbul dalam hati manusia berupa sembah, puji-pujian, doa penyerahan diri, rasa rendah hati dan rasa berkorban untuk kebajikan. Kita sebagai umat manusia yang beragama dan bersusila harus menjunjung dan memenuhi kewajiban, antara lain cinta kepada kebenaran, kejujuran, keikhlasan, dan keadilan.
Dengan demikian jelaslah begaimana hubungan antara sanghyang widi dengan manusia. Hubungan ini harus dipupuk dan ditingkatkan terus kearah yang lebih tinggi dan lebih suci lahir bhatin. Sesuai dengan swadharmaning umat yangb religius, yakni untuk dapat mencapai moksartam jagad hita ya ca itri dharma, yakni kebahagiaan hidup duniawi dan kesempurnaan kebahagioan rohani yang langgeng (moksa).
2.      Pawongan
Pawonan berasal dari kata wong (dalam bahasa jawa) yang artinya orang. Pawongan adalah  perihal yang berkaitan dengan orang dalam satu kehidupan masyarakat, dalam arti yang  sempit pawongan adalah kelompok manusia yang bermasyarakat yang tinggal dalam satu wilayah.
Pada mulanya Tuhan yang lebih dulu menciptakan bhuwana atau alam, maka munculah palemahan, setelah itu barulah beliau menciptakan manusia beserta mahluk hidup lainya. Setelah manusia berkembang dan menghimpun diri dalam kehidupan bersama dan mendiami suatu wilayah tertentu maka muncullah masyarakat yang disebut dengan pawongan.
 Selain menyelaraskan hubungan atman dengan paramatman atau hubungan manusia dengan tuhan, kita sebagai mahluk sosial juga harus membina hubungan dengan sesama Manusia dan mahluk lainya. Yang dimaksud dengan hubungan antar manusia dan mahluk lain ini adalah hubungan antar anggota keluarga , masyarakat, antara anak, suami dan istri dan lainnya. Hubungan manusia dengan mahluk lainya hendaknya dapat menciptanya suasana rukun, harmonis, dan damai serta saling bantu membantu satu sama lain dengan hati yang penuh dengan cinta kasih. Yang mana kasih merupakan dasar kebajikan. Kasih muncul dari dalam kalbu yang merupakan alam paramatman, yaitu lama ananda (kebahagiaan).
Dalam manu smerti II,138 disebut :
“satyam bruyat priyam bruyam
na bruyam satyam, priyam
canartam, bruyat esa dharmah sanatanah”

yang artinya:
berkatalah yang sewajarnya jangan mengucapkan kata kata yang kasar. Walaupun kata-kata itu benar, jangan pula mengucapkan kata-kata lemah lembut namun dusta. Inilah hukum susila yang abadi(sanatana dharma).
            Perilaku yang baik adalah dasar mutlak dalam kehidupan sebagai manusia, karena dengan berbuat susila manusia dapat meningkatkan taraf hidupnya baik di alam sekala maupun di alam niskala.
3.      Palemahan
Palemahan berasal dari kata lemah yang artinya tanah. Palemahan juga berati bhuwana atau alam. Dalam artian yang sempit palemahan berarti wilayah sutu pemukiman atau tempat tinggal.
Manusia hidup dimuka bumi ini memerlukan ketentraman, Kesejukan, ketenangan dan kebahagiaan lahir dan bhatin. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia tidak bisa hidup tanpa bhuwana agung (alam semesta). Manusia hidup di alam dan dari hasil alam. Hal inilah yang melandasi terjadinya hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta ini.
  Untuk tetap menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam, umat Hindu melaksanakan upacar tumpek uye (tumpek kandang), yang bertujuan untuk menjaga kelestarian hidup binatang dan melaksanakan upacara tumpek wariga (tumpek bubuh) untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan..
Demikianlah penjelasan mengenai pembagian dari tri hita karana tersebut. Arti penting ajaran Tri hita karana ini merupakan ajaran agama hindu yang universal. Ajaran tri hita karana mengarahkan manusia untuk selalu mengharmoniskan hubungan manusia dengan sang pencipta, manusia dengan alam semesta, dan hubungan manusia dengan alam semesta atau lingkunganya.
Arah dan sasaran dari tri hita karana adalah mencapai mokrastham jagad hita ya ca iti dharma, yakni mencapai kebahagiaan lahir dan bhatin sehingga dengan keharmonisan maka tercapailah kebahagiaan yang merupakan tujuan akhir dari agama hindu yakni bersatunya atman dengan paramatman.
Implementasi Ajaran Tri Hita Karana Dalam Rumah Tangga
Berbicara kebahagiaan atau mengenai Tri Hita Karana tidaklah bisa dipisahkan antara pawongan, palemahan dan parahyangan sebab antara satu dan yang lainya saling keterikatan yang mana implementasi ketiga ajaran tersebut menentukan kebagaiaan manusia dan alam semesta ini sebab dalam Tri Hita Karana tidak saja hubungan antara manusia saja, melainkan hubungan dengan alam dan tuhan pula diajarkan.
Implementasi Tri Hita Karana sesungguhnya dapat diterapkan dimana dan kapan saja dan idealnya dalam setiap aspek kehidupan manusia dapat menerapkan dan mempraktekan tri hita karana ini yang sangat sarat dengan ajaran etika yakni tidak saja bagaimana kita diajarkan bertuhan dan mengagungkan tuhan namun bagaimana srada dan bhakti kita kepada tuhan melalaui praktik kita dalam kehidupan sehari-hari seperti mengahargai antara manusia dan alam semesta ini yang telah memberikan kehidupan bagi kita.
Dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia selalu mencari kebahagiaan dan selalu mengharapkan agar dapat hidup secara damai dan tentram baik antara manusia dalam hal ini tetangga yang ada dilingkungan tersebut maupun dengan alam sekitarya. Hubungan tersebut biasanya terjalin dengan tidak sengaja atau secara mengalir saja terutama dengan manusia namun ada juga yang tidak memperdulikan hal tersebut dan cenderung melupakan hakekatnya sebagai manusia sosial yang tak dapat hidup sendiri. Dalam kehidupan manusia, segala sesuatu berawal dari diri sendiri dan kemudian berlanjut pada keluarganya. Dalam keluarga, manusia akan diberikan pengetahuan dan pelajaran tentang hidup baik tentang ketuhanan ataupun etika oleh orang tua atau pengasuh kita (wali), dan beranjak dari hal tersebut pula orang tua secara perlahan menanamkan nilai-nilai keagamaan dalam tubuh dan pikiran setiap anak-anaknya melalui praktik maupun teori. Begitu pula halnya dengan pendidikan atau pemahaman tentang tri hita karana itu sendiri, secara sadar maupun tidak sadar hal tersebut atau nilai-nilai ajaran tersebut sudah ditanamkan oleh orang tua melalui praktik kepada anak-anaknya seperti mengajarkan anaknya untuk mebanten saiban. Memang hal ini manpak sepele namun jika kita mampu mengkaji lebih dalam sesungguhnya hal ini mengandung nilai pendidikan yang sangat tinggi meskipun orang tua kebanyakan tidak mampu menjelaskan secara logika dan benar makna dari tindakan tersebut.
Selain hal tersebut diatas masih banyak hal terkait implementasi tri hita karana yang dapat dilakukan dalam kehidupak keluarga, seperti mebanten ketika hendak melakukan suatu kegiatan seperi membuka lahan perkebunan yang baru. Hal ini jika dikaji tidak hanya penghormatan kepada alam namun penghormatan kepada tuhan melalui tindakan yang secara kasat mata meminta ijin beliau untuk memakai alam tersebut untuk kebutuhan manusia. Interaksi manusia dengan alam dan Tuhan yang nampak pada kegiatan tersebut hampir tidak pernah diperbincangkan oleh manusia dan menganggap hal tersebut sebagi hal yang biasa, namun demikianlah umat hindu mengimani ajaran Tri Hita Karana yang mana implementasinya sendiri terkadang dilakukan secara tidak sengaja namun mengena pada sasaran.
Mengenai hubungan manusia dengan sesam (pawongan), ajaran tri hita karana nampak pada upacara manusia yadnya misalnya upacara otonan yang mana yang dilakukan untuk memperingati hari kelahiran kita  dan bersyukur kepada tuhan karena telah dilahirkan. Ajaran Tri Hita Karana tidak bisa diterapkan dalam satu bidang saja namun ada keterkaitannya dengan yang lain seperti contoh diatas, tidak saja untuk manusia dilakukan upacara tersebut namun ditujukan pula kepda tuhan. Demikian mulianya huhungan yang diajarkan tri hita karana pada manusia yang selalu menekankan kepada manusia agar selalu ingat bahwa kita didunia ini tidaklah hidup sendirian, ada tentangga dalam hal ini manusia lain yang kita butuhkan sebagai mahluk sosial, ada alam yang memberi kita berkah agar bisa meneruskan hidup dan ada tuhan sebagai pencipta kita. Sehingga kita senantiasa harus menjaga hubungan tersebut agar terjadi keseimbangan dalam hidup ini. Demikianlah contoh secara gamlang yang dapat diuraikan selain masih banyak lagi contoh lain yang terkait mengenai hal tersebut yang mana bisa dimulai dari lingkungan rumah tangga atau lingkungan keluarga, sebab dalam keluarga banyak memberikan edukasi yang tinggi tentang nilai-nilai serta konsep ketuhanan, sehingga dari padanya hendaknya kepada anak diberikan hal itu sedini mungkin.
Demikianlah sedikit ulasan yang dapat saya sampaikan pada hariyang berbahagia ini.
Semoa apa yang di saya jelaskan tadi dapat diterapkan dalam kehidupan kita supaya tercipta suatu keadaan yang harmonis, tentram dan damai.
Om santhi, santhi, santhi om.





MEMAHAMI TATWA DALAM YADNYA DI ERA MODERN



MEMAHAMI TATWA DALAM YADNYA DI ERA MODERN
Oleh : Ni Kadek Martina

Om Swastyastu
Om Anobhadrah krtavoyanthu visvataha ; semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru
Umat Hindu sedharma yang berbahagia, atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa kita diberikan kesempatan berkumpul ditempat ini dengan limpahan kesehatan dan tidak kurang sesuatu apapun. Rasa bahagia yang tidak terkira manakala pada kesempatan ini, saya bisa menyampaikan Dharma Wacana dengan topik “Memahami Tattwa Dalam Yadnya Di Era Modern”. Lebih bahagianya lagi berada didepan umat sedharma yang begitu antusias mengikuti dharmawacana ini dengan wajah yang berseri laksana teja sang surya yang bersinar cemerlang, Tidak tampak oleh saya kesedihan yang tersirat menandakan para umat sedharma dilimpahkan kebahagian.
Umat sedharma yang berbahagia, kata yadnya seperti yang kita ketahui sudah lama populer, tetapi masih banyak umat yang memberi arti sempit pada kata yadnya tersebut. Bagi umat yang masih awam setiap mendengar kata yadnya dalam benaknya selalu terbayang bahwa di suatu tempat ada berbagai jenis sesajen, asap dupa mengepul, bau bunga dan wangi kemenyan yang semerbak, ada puja stawa sulinggih atau pemangku, ada suara tabuh, kidung, gambelan yang meriah dan berbagai atraksi seni religious. Bayangan tersebut tidaklah salah, namun ada kekeliruan anggapan kalau yadnya diidentikkan dengan kegiatan upacara keagamaan, yang sesungguhnya pengertian yadnya tidak sesempit itu.
Kata yajnya sesungguhnya berasal dari bahasa sanskerta.Yadnya secara etimologi berasal dari akar kata Yaj artinya : “korban”. Dengan demikian yadnya dapat diartikan korban suci dengan tulus iklas. Pengorbanan dalam konteks ini cakupanya sangat luas dan bukan saja dalam bentuk ritual, upakara tetapi dapat juga dipahami sebagai pengorbanan dalam bentuk pikiran, tindakan dan yang lainya. Dalam kitab Bhagavadgita IV.33 dinyatakan sebagai berikut:
Sreyaan dravyamayaad yadnyaaj.
Jnyanayadnyaah paramtapa.
Sarvam karmaa'khilam paartha.
Jnyaane parsamaapyate
(Bhagavad Gita IV.33)

Artinya:
Lebih utama persembahan dengan Jnyana Yadnya daripada persembahan materi dalam wujud apa pun. Sebab, segala pekerjaan apa pun seharusnya berdasarkan ilmu pengetahuan suci (Jnyana).


Umat sedharma yang terkasih, dijaman yang modern seperti sekarang ini yang mana kehidupan masyarakat yang serba praktis pola hidup masyarakat cendrung konsomtif (serba instan) dan hedonisme. Masyarakat pada umumnya melakoni hidup dengan rutinitas yang padat, terkadang sampai lupa waktu, terutama masyarakat yang hidup di kota-kota besar. Jika umat tidak memahami tatwa yadnya yang sesungguhnya , sudah pasti umat akan beranggapan bahwa beryadnya khuusnya di Hindu akan sangat memberatkan umat kerena penuh dengan ritual upacara dengan berbagai sesajen atau banten yang begitu banyak.  Sesungguhnya jika umat memahami tatwa atau esensi dari yadnya, maka umat akan dapat memahami kalau beryadnya tidak hanya dengan ritual semata tetapi dapat pula dilakukan dengan melaksanakan ajaran dharma. Jika segala sesuatu atau perbuatan yang kita lakukan berdasarkan atas dharma dengan tulus ikhlas  dapat disebut yadnya. 
Dalam Bhagavadgita dikatakan belajar dan mengajar yang didasari oleh keiklasan serta penuh pengabdian untuk memuja nama Tuhan maka itu pun tergolong kedalam yadnya. Memelihara alam dan lingkungan sekitar pun tergolong kedalam yadnya. Mengendalikan hawa nafsu dan panca indra  adalah yadnya. Selain itu menolong orang sakit, mengentaskan kemiskinan, menghibur orang yang sedang tertimpa musibah pun adalah yadnya. Jadi jelaslah yadnya itu bukan terbatas pada kegiatan upacara keagamaan saja.
Umat sedharma yang berbahagia jika umat telah memahami tatwa yadnya yang sesungguhnya maka umat tidak akan beranggapan kalau yadnya yang setiap hari kita lakukan hanya berkutat dengan ritual upacara semata yang penuh dengan sesajen. Hal tersebut terkadang dapat memberatkan umat sehingga muncul anggapan  kalau beryadnya itu rumit dan terkesan ada unsur pemaksaan.  Sesungguhnya jika dipahami, Hindu itu merupakan Agama yang fleksibel. Hindu adalah “cara hidup” kata S Radhakrisnan. Dan, “Hindu disetiap aktifitasnya menunjukan elastisitasnya (fleksibel) tidak kaku” ujar MK Gandhi. Demikian juga “Hindu fleksibel tidak membunh budaya setempat dimana Hindu itu berkembang, seperti ibarat bola karet yang mengelinding. Menggelinding di pasir ia akan menjadi pasir, menggelinding dirumput ia akan menjadi rumput”. Ujar guru agung Svami Vivekananda. Jadi ajaran Hindu tidak kaku, demikian juga kaitanya dalam melakukan ritual yadnya Hindu tidak mengharuskan beryadnya dengan kemegahan dan kemewahan serta mengeluarkan uang banyak.
Umat sedharma yang berbahagia, jika ditinjau dari tiga kerangka dasar Agama Hindu yaitu Tatwa, Etika, dan Upakara atau Upacara, dimana kerangka ini merupakan cerminan dari “Tri Angga Sarira” dari manusia diantaranya ada badan Atma yang bermanifestasi sebagai “Mahat” dan tercermin sebagai Tatwa. Kedua adalah badan Antakarana (jiwa) bermanifestasi sebagai “Budhi” dan tercermin sebagai perilaku atau etika. Ketiga adalah adanya jasad tubuh “Panca Maha Butha” bermanifestasi sebagai “Ahamkara” dan merupakan cerminan upakara atau upacara (bersifat material). Sesungguhnya yadnya yang kita lalukan adalah cerminan dari diri sendiri, dikatakan dalam Upanisad; sesungguhnya tuhan berada dalam diri kita sendiri. Jika kita ingin memiliki atau mempersembahkan yadnya yang berkualitas hendaknya kita mampu mengendalikan diri sendiri terutama mengendalikan pikiran.
Manawa Dharmasastra II.92 dikatakan bahwa ; “pikiran adalah indra yang kesebelas, pikiran itu disebut rajendrya atau raja-raja indria”. Jadi jika ingin yadnya yang kita persembahkan berkualitas, maka kita harus dapat memahami bahwa sebenarnya Tuhan ada dalam diri serta mampu untuk mengendalikan pikiran. Sebab pikiran merupakan penyebab dari kehancuran.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    
Demikian untuk dipahami umat sedharma, beryadnya yang berkualitas bukan diukur dari kemegahan dan besar kecilnya upacara. Sesungguhnya kualitas dari yadnya tersebut berada dalam diri sendiri. Jika sudah mampu untuk mengendalikan pikiran, tindakan dan nafsu dalam diri maka apapun perbuatan yang kita lakukan adalah yadnya yang berkualitas. Umat sedharma yang berbahagia sesungguhnya tatwa atau esensi dari yadnya yang kita lakukan adalah bertolak ukur dari diri sendiri. Selain itu jika dikaitkan dengan kehidupan dijaman yang modern ini tatwa yadnya itu sendiri, bilamana kita mampu untuk mengendalikan pikiran dan tindakan serta dapat menolong orang yang sedang kesusahan adalah besar yadnya tersebut. Harapan saya dari apa yang telah  saya sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua, jika kita menghargai ciptaan Tuhan maka kita secara tidak langsung telah melakukan yadnya yang utama. Seperti dalam Hindu dikatakan dalam konsep Tat Twam Asi, aku adalah kamu yang artinya jika kita menyayangi dan memelihara ciptaan Tuhan maka sama artinya kita mempersembahkan bhakti kepada-Nya. Jika ada kekurangan dalam penyampaian dharma wacana ini saya mohon maaf. Karena tidak ada manusia yang sempurna, tiada gading yang tak retak.    Akhir kata saya tutup dengan paramasantih.
Om Santih, Santih, Santih Om
  

BHAKTI MARGA JALAN MENCAPAI KEBAHAGIAAN



BHAKTI MARGA  JALAN MENCAPAI KEBAHAGIAAN
Oleh :
Ni Komang Nova Ayu Purnami

Om Swastyastu,
Om Anobadrah Krtavoyantu visvatah,
(Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru)

Puja dan puji syukur saya panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas berkah dan rahmatnya, saya diperkenankan untuk menyampaikan dharma wacana yang bertemakan Catur Marga, Jalan Mencapai Kebahagiaan.
Umat Sedharma yang terkasih,
Catur Marga adalah salah satu konsep yang diajarkan didalam Veda yang secara umum berarti empat jalan untuk mendapatkan inti sari kebenaran dan kebahagiaan serta mencapai Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang dibagi menjadi empat jalan, yakni:
1. Bhakti Marga adalah usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan jalan sujud bhakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
2. Karma Marga berarti jalan atau usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan melakukan kebajikan, pelayanan, tugas, persembahan dan amal dengan tiada terikat oleh nafsu  hendak mendapatkan kemasyuran, kewibawaan dan keuntungan - keuntungan lainnya.
3. Jnana Marga ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan mempergunakan kebijaksanaan filsafat (Jnana).
4. Raja Yoga Marga ialah suatu jalan untuk mencapai Jagadhita dan Moksa melalui pengabdian diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa yaitu yang di dasari oleh asana, yoga, kosentrasi dan meditasi pada atman untuk merealisasikan Tuhan dalam diri manusia.
Jalan/marga yang paling sederhana dalam kehidupan saat ini (jaman kali) adalah Bhakti Marga. Disini Tuhan diwujudkan sebagai penguasa yang sangat penyayang, di ibaratkan sebagai ayah, ibu, kakak, sahabat, tamu dan sebagainya. Orang yang melaksanakan jalan ini meninginkan kebahagiaan rohani (svasti). Menurut Bhakti Marga, Tuhan adalah  sosok yang dekat, umum, dapat dengan mudah dicintai dan di dekati dengan berbagai cara yang diyakini, seperti yang terdapat dalam sloka Bhagavadgita (IV,11), yang bunyinya sebagai berikut:
Ye Yatha mam prapadyante
Tams tathaiva bhajami aham
Mama vartmanuvartante
Manusyah partha sarvasah
Yang artinya :
Bagaimanapun (jalan) manusia mendekati-Ku, Aku terima, wahai Arjuna. Manusia mengikuti jalan-Ku pada segala jalan.
Kemudian sloka berikutnya, (Bhagavadgita,IX,26) yakni :
Patram puspam phalam toyam
Yo me bhaktya prayacchati
Tad aham bhakty-upahrtam
Asnami prayatatmanah
Yang artinya :
Siapapun yang dengan sujud bhakti kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun, setangkai bunga, sebiji buah, setetes air, Aku terima dengan segala bhakti persembahan dari  orang yang berhati suci.
Saudara-saudaraku yang berbahagia,
Bhakti merupakan dasar penbentuk agama. Bhakti adalah jalan termudah dan dapat dikombinasikan dengan ketiga jalan yang lainnya, pada dasarnya ketiga jalan yang lain  memerlukan adanya Bhakti untuk membuat jalan tersebut menjadi lebih mudah dan membuat seseorang semakin tegar dalam menghadapi cobaan yang mungkin muncul dalam menempuh kehidupannya. Dalam Bhakti tidak ada aturan yang begitu mengikat, intinya adalah adanya rasa bhakti atau kecintaan pada Sang Hyang Widhi Wasa.
Suatu kisah tentang Rama seorang Avatara dan raja yang Agung, dengan Sabari, salah seorang bhaktanya yang termashyur. Sabari adalah seorang wanita kasta rendah yang ingin sekali memperoleh darsan Rama sang Avatara. Ia tinggal seorang diri di suatu pertapaan yang terpencil di dalam hutan. Ia mengisi hidupnya untuk menanti Rama dan berharap sang Avatara akan datang melewati hutan tempat tinggalnya dan menghampirinya. Setiap hari ia mengumpulkan buah dan akar-akaran untuk dipersembahkan pada Rama. Pada suatu hari kerinduannya terpenuhi. Rama benar-benar datang melewati hutan itu. Ketika Rama menikmati buah dan akar-akaran persembahannya, Sabari menjatuhkan diri dan bersujud di kaki-Nya dan berkata,” Oh Tuhan, saya hanyalah seorang wanita yang bodoh dan berasal dari kasta yang rendah. Bagaimana saya dapat memuji Tuhan? Saya tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana cara melakukannya.” Rama tersenyum dan berkata, “ Sabari, misi-Ku adalah menjalin hubungan bhakti. Aku tidak mempunyai pertalian dengan suku bangsa atau kasta. Apakah gunanya memiliki kekayaan, kedudukan, atau karakter tanpa bhakti kepada Tuhan? Bhakta dapat mencapaiKu melalui Sembilan jalan, masing-masing jalan itu dapat membawa mereka kepadaKu.”
Sembilan jalan yang dimaksud (Nava Vida Bhakti) tercantum dalam Bhagavata Purana (VII, 5.23) yaitu :
Sravanam, kirtanam, visnohsmaranam,
Padasevanam, vandanam, arcanam, dasyam,
Sakhyam, atmanivedanam.
Yang artinya :
Mendengarkan prihal kemuliaan Tuhan, menyanyikan namaNya, mengingat dan merenungkan kemuliaan Tuhan, memuja kaki Tuhan, membaca kitab suci, menghormati Tuhan melalui media Arca, mengabdi kepada Tuhan, mencapai kedekatan dengan Tuhan, pasrah diri kepada Tuhan.
Penjelasannya sebagai berikut :
1. Sravanam artinya mendengarkan mengenai nama suci Tuhan, lila rohani-Nya, kemunculan rohani-Nya ini adalah merupakan awal pelayanan bhakti. Kemunculan dan aktivitas rohani sangat penting di awali dengan sravanam seperti yang diajarkan oleh Rsi Narada, ini adalah awal untuk mencapai sad-cid-ananda-vigraha.
2. Kirtanam adalah memuja Tuhan dengan menyanyikan nama-nama Tuhan atau kidung suci keagamaan seperti bhajan yang bertujuan memuliakan Tuhan dan menjelaskan tentang nilai-nilai kemanusiaan. Kidung suci yang dinyanyikan dengan sungguh-sungguh dan terus menerus akan dapat mengantarkan manusia pada suatu kehidupan yang bahagia. Dengan kirtanam kita melakukan bhakti guna membuka pintu Padma Hrdaya untuk menstanakan Tuhan dalam diri. Kirtanam dapat mengakibatkan atman menguasai budhi, budhi menguasai manah, dan manah menguasai indria. Dengan kondisi seperti ini, maka orang akan dapat mengendalikan tingkah lakunya dan menyebabkan nya selalu betusaha berbuat baik. Selanjutnya kirtanam dapat dilakukan dengan tiga cara, yakni :
1. Nista atau melakukan kirtanam secara waikhari yakni dengan suara yang jelas dan dapat didengar.
2. Madhya atau melakukan kirtanam secara upamsu yakni hanya dengan gerak lidah tetapi tanpa suara, artinya tidak dapat didengar.
3. Utarna atau melakukan kirtanam secara manasika yakni diucapkan didalam hati.
3. Smaranam adalah berbhakti kepada Tuhan dengan jalan selau ingat pada Tuhan dan manifestasi-Nya. Ini sangat penting dalam menjaga prilaku agar tidak menyimpang dari jalan dharma. Semakin kuat kita mengingat keberadaan dan kemahakuasaan-Nya, maka semakin kuat pula getaran kesucian Tuhan mempengaruhi totalitas diri kita. Dengan semakin kuatnya getaran kesucian yang kita dapatkan, maka kegiatan kita pun akan menjadi semakin baik, dijauhkan dari segala halangan dan selalu memperoleh perlindungan-Nya.
4. Vandanam adalah bentuk bhakti yang dilakukan dengan jalan membaca kitab suci Veda dan sastra suci. Ini sangat bermanfaat untuk menambah penguasaan dan pemahaman akan sastra-sastra suci Veda. Vandanam adalah suatu bentuk bhakti yang menjaga proses terbentuknya struktur alam pikiran yang ideal. Dengan membaca secara  berulang-ulang, baik itu sastra –sastra agama  maupun mitologi agama dengan  penuh rasa bhakti, maka kekuatan budhi akan semakin terbentuk, sehingga pikirn egoisme pun dapat dikuasai.
5. Padasevanam merupakan perwujudan bhakti kepada Tuhan dengan menyembah kaki padma Tuhan. Kaki padma diartikan sebagai kaki yang maha suci milik Tuhan.
6. Dasyam adalah berbhakti dengan jalan melayani dan mengabdi pada Tuhan Yang Maha Esa yang pada umumnya lewat pemujaan pada arca dan pelayanan kemanusiaan. Proses bhakti ini di Bali biasa disebut dengan ngayah. Ngayah itu merupakan pengabdian yan penuh keikhlasan, ketetapan hati yang bulat dan kesungguhan serta penuh rasa bhakti.dengan ngayah atau mengabdi ataupun melayani Tuhan, maka rasa ego atau ahamkara itu ditiadakan atau dikekang sekuat mungkin. Dengan menghilangkan egoisme, maka orang akan merasa sangat dekat dengan Tuhan. Sebaliknya, jika egoisme itu tinggi, apalagi jika disertai dengan keterikatan dengan duniawi dan rasa amarah, maka orang akan menjadi jauh dengan Tuhan.
7. Arcanam adalah memuja dan menghormati Tuhan melalui media arca atau pratima. Perlu dimaklumi bahwa dalam kitab Pratimalaksana menjelaskan bahwa jika seseorang membuat atau memperbaiki Arca pemujaan kepada Tuhan, maka jiwanya yang murni akan mendapatkan hidup bagai di Surga lebih dari 100 Yuga. Ini berarti bahwa, berbhakti kepada Tuhan melalui pembuatan atau pemeliharaan Arca akan memberikan pahala yang sangat tinggi.
8. Sakhyam adalah bentuk bhakti kepada Tuhan seperti hubungan bersahabat dekat. Dalam hubungan ini seseorang tidak perlu canggung lagi, ia dapat mengutarakan semua isi hatinya kepada Tuhan.
9. Atmanivedanam adalah bentuk pemujaan yang dilakukan dengan penyrahan diri sepenuhnya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ini dilaksankan oleh para bhakta yang murni. Menurut Svami Sivananda, Atmanivedanam atau penyerahan diri secara total kepada Tuhan dapat dibagi dalam dua tahap sebagai berikut :
1. Tahap pertama adalah Markata Nyaya yang merupakan penyerahan diri secara total kepada Tuhan, dengan selalu berpegang teguh pada keberadaan dan kemahakuasaan-Nya, melalui semua ajaran yang diturunkan-Nya dalm kitab suci Veda. Penyerahan diri seperti ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang atmanya telah sepenuhnya menguasai budhi, manah, dan indriya. Segala aktivitas manah, budhi dan indriyanya sudah dapat dkendalikan oleh atman. Penyerahan diri sepenuhnya seperit ini diyakini akan memberikan keselamatan, sepanjang orang yang bersangkutan berpegang teguh kepada Tuhan dan ajaran-Nya.
2. Tahap kedua adalah Marjara Nyaya yaitu merupakan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan yang sudah sempurna dan lebih tinggi tingkatanya. Orang yang berbhakti dengan jalan Marjara Nyaya ini tidak lagi aktif mendekati Tuhan, tetapi Tuhanlah yang sepenuhnya menentukan bagaimana nasib orang itu yang paling tepat, sesuai dengan tingkatan karma yang telah dilakukan. Penyerahan diri kepada Tuhan ini janganlah dipandang sebagai prilaku yang pasif atau hanya menunggu nasib saja, sebab menyerah dan menugu nasib tidaklah termasuk dalam Atmanivedanam.
Umat Sedharma yang Budiman,
Bhakti yang murni segera membawa rasa lega, bebas dari segala jenis kesengsaraan material. Bhakti Marga adalah pencarian sejati, pencarian sebenarnya terhadap Tuhan, sebuah pencarian yang berawal dari kasih, berlanjut dengan kasih dan berakhir dengan kasih. Satu momen kerinduan yang yang mendalam akan kasih Tuhan yang akan membawa kita pada kebebasan yang abadi. “ Bhakti “ seperti yang dikatakan oleh Rsi Narada dalam penjelasannya tentang bhakti, “ adalah kasih mendalam terhadap Tuhan.” Ketika manusia mencapainya, ia akan mengasihi semua, tidak membenci siapapun, mencapai kedamaian dan mencapai suatu kebahagiaan. Kebahagiaan adalah suatu keadaan pikiran atau perasaan yang ditandai dengan kesenangan, rasa damai, cinta kasih, kepuasan, kenikmatan dan kegembiraan.
Om Santih, Santih, Santih Om